“54 tahun bukan merupakan usia yang muda, tetapi belum pantas juga, jika dipandang sebagai usia tua. Sungguh mulia jika kita semua menyempatkan berkumpul, bersilaturahmi, bernostalgia dan berbagi petualangan dalam menembus awan. Diskusi bersama, demi menyongsong masa-masa depan, serta memberikan dukungan kepada generasi penerus AVES SPC,” kata Ketua AVES SPC Muljo Widodo Kartijo yang akrab disapa Mas Dodot saat helatan ulang tahun organisasinya.
Pada acara tersebut tampak hadir para pendiri AVES SPC, jajaran pengurus, senior dan junior, termasuk perwakilan dari TNI AU Lanud Husein Sastranegara, serta undangan lainnya.
Sekilas, dalam kurun waktu 54 tahun AVES SPC, kiprahnya pada dunia dirgantara olahraga terjun payung, patut dibanggakan. Pasalnya, ia telah melahirkan atlet-atlet handal, dan segudang prestasi lainnya yang diraihnya di dalam maupun luar negeri. Organisasi peterjun sipil AVES SPC inipun telah banyak melahirkan beberapa club terjun payung di Indonesia, salah satunya Mataram Parashute Club Yogya.
Kepada awak media Mas Dodot berkisah tentang cikal bakal berdiri organisasi ini sejak 29 Juli 1969 di Kota Bandung, “ini klub terjun payung sipil pertama di Indonesia besutan TNI AU dan hingga saat ini sudah memiliki anggota lebih dari 200 orang.”
Lebih lanjut kata Mas Dodot, di antara mereka yang hadir ini yang kini usianya rata-rata di atas 50 atau 60 tahunan, mereka ini masih banyak yang aktif melakukan terjun payung, “setidaknya menjadi pembina, maupun pelatih para atlet,” ujarnya dengan menambahkan – “Salah satu anggota tertua, itu Pak Aswin, usianya 80-an, hadir disini. Dia masih mau loncat lagi (terjun payung -red).”
Masih kata Mas Dodot, pihaknya akan tetap fokus serta berkomitmen untuk terus mengayomi, memajukan, mendukung serta mengembangkan olahraga terjun payung agar diminati di kalangan masyarakat Indonesia khususnya Jawa Barat,”optimis akan lahir atlet terjun payung kelas dunia dari Indonesia,” paparnya.
Menurut Mas Dodot pula, setiap tahun peminat menjadi anggota AVES SPC selalu ada. Para peminat itu berasal dari berbagai lapisan masyarakat, ”kebanyakan dari kalangan mahasiswa,” ujarnya.
Materi awal untuk terjun payung sipil, ini biasanya untuk para junior, “latihan lebih banyak menganalisa aspek dari terjun payung, orientasi pemahaman terjun, melakukan gerakan maju, melakukan penguasaan pelayangan, konsolidasi, berputar dan berpegang, konsolidasi dan melakukan back loops dan tracking, itu yang kita praktikkan dan instrukturnya para senior AVES sendiri,” ujar Mas Dodot.
Ketika itu (2008), AVES SPC pernah berjaya pada nomor canopy formation dan accuracy landing di Indonesia bahkan di luar negeri, kenang Mas Dodot. –“ saat ini kami punya dua tim untuk kedua nomor ini, yang satu sedang belajar di Perancis untuk persiapan PON XXI/2024 yang akan datang dan jadi andalan kami,” jelasnya.
Mahal vs Kreativitas
Disinggung tentang keberadaan para instruktur terjun payung, menurut Mas Dodot kerapkali ada yang mengikuti training tidak hanya di Indonesia, bahkan harus pergi ke luar negeri, “ya, untuk mempelajari teknik terjun payung lebih rinci di sana, mengkaji dan praktik atas sejumlah peralatan, serta mengetahui standar prosedur mutakhir lainnya.
Diakui olahraga terjun payung ini termasuk kegiatan yang memerlukan biaya mahal. Menurut Mas Dodot pula, harapannya ada dukungan dari pemerintah, terkait pengadaan sarana dan fasilitas latihan rutin lainnya.
Menutup perbincangan ini dengan nada semi seloroh ia mengatakan: “Inginnya, kita itu harus punya pesawat terbang sendiri, landasan pacu sendiri?! Lalu, memangnya saya harus minta tolong ke Elon Musk pula? Ya, nggak bisa lah. Justru, kita harus kreatif dan mau berkolaborasi dengan semua kalangan. Yakin dengan azas silaturahim dan gotong-royong, semua bisa kita wujudkan, di antaranya melahirkan atlet terjun kelas dunia,” pungkas Mas Dodot. (HRS/HS/dtn)