destinasiaNews — Di usianya yang hampir menyentuh satu abad, Abah Landoeng Soewarno (99), tokoh sepuh asal Bandung, kembali menjadi saksi hidup sejarah yang bersuara. Sabtu siang (14/6/25) itu, ia menjadi narasumber utama dalam sebuah dokumenter produksi televisi nasional Belanda, Nederlandse Omroep Stichting (NOS).
Dalam wawancara yang dipandu langsung oleh reporter Melinde Vassens dan didampingi jurnalis Indonesia, Ati, Abah Landoeng mengenang kembali masa kelam ketika dirinya dipaksa menjadi romusha. Yaitu pekerja paksa pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, antara tahun 1942 hingga 1945.
“Abah Landoeng ini mungkin satu-satunya korban romusha yang masih hidup dan masih bisa menarasikan langsung penderitaan masa itu. Beliau adalah aset sejarah bangsa,” ujar Ati.
Kembali ke Tapak Luka
Wawancara tahap pertama dilakukan di kawasan Batik Halus, Bandung—daerah yang dulunya bagian dari hutan belantara Sukaluyu. Di situlah, lebih dari delapan dekade lalu, remaja bernama Landoeng dipaksa bekerja bersama ratusan romusha lainnya, membuka jalan setapak di tengah lebatnya rimba.
“Dulu di sini hutan. Kami disuruh bikin jalan, lebarnya cuma satu meter. Sekarang sudah jadi kawasan padat, tapi dulu, hanya gelap dan nyamuk,” ujar Abah, suaranya berat dan parau. Sesekali ia terbatuk kecil, tangannya gemetar saat menunjukkan dadanya yang cekung.
“Sampai sekarang masih terasa. Kalau dulu ketahuan lelah atau istirahat, kami bisa ditendang atau ditampar, juga dijemur di bawah matahari terik. Banyak yang mati karena lapar dan sakit. Teman-teman Abah, satu per satu, tumbang. Yang bikin Goa Jepang di Dago itu juga banyak yang nggak pulang,” tuturnya dengan mata yang berkabut.
Tetap Lembut, Meski Pernah Dihancurkan Kekerasan.
Wawancara dilanjutkan di kediaman Abah Landoeng di Gang Jameng 5, Cimahi. Tempat tinggalnya sejak 2018, setelah menikah dengan Ibu Sani Suningsih, istri keduanya. Sepeninggal almarhumah Ibu Mie Setiawati yang memiliki 6 putra-putri, masing-masing Budi, Agung, Evan, Ayu, Deden, dan Dwi.
Di rumah itu, suasana terasa lebih tenang. Duduk di kursi kesayangannya, Abah tampak lebih santai. Namun saat mengingat masa lalu, suaranya tetap penuh makna.
“Abah bersyukur masih hidup, masih bisa cerita. Terima kasih buat TV NOS yang masih mau mendengarkan cerita tua ini. Walau pahit, semoga kisah Abah jadi pelajaran. Bahwa penjajahan itu tak ada gunanya,” ucapnya perlahan namun tegas.
Ia berharap bangsa Indonesia terus menolak kekerasan dalam bentuk apa pun.
“Negara kita sudah sepakat untuk menghapus penjajahan dari muka bumi. Jangan sampai ada anak muda yang harus merasakan yang Abah rasakan,” tuturnya.
Saksi Hidup, Warisan Tak Tertandingi, Abah Landoeng
Tim TV NOS menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada Abah Landoeng atas kesediaannya menjadi narasumber. Bukan hanya sebagai korban sejarah, Abah juga dikenal sebagai pensiunan guru, mengabdi di dunia pendidikan sejak 1956 hingga 1996.
Pada 2024, ia menerima Tanda Kehormatan Veteran Dwi Kora dari Kementerian Pertahanan RI. Di tahun yang sama, kisah hidupnya diabadikan di Dutch Resistance Museum di Amsterdam, sebagai bagian dari pameran bertajuk The Former Dutch Colonies: From World War II to Independence.
“Beliau sosok luar biasa. Lembut, penuh kasih, tapi ucapannya dalam dan menggugah. Nilai-nilai kemanusiaan beliau sampaikan tanpa kemarahan, hanya dengan kejujuran,” kata Melinde Vassens penuh kagum.
Jurnalis Ati menutup dengan penuh hormat, “Abah Landoeng bukan sekadar saksi sejarah. Ia adalah suara nurani bangsa. Ia mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, ia adalah warisan yang diperoleh dari penderitaan, darah, dan kesabaran luar biasa”.* (HS/HRS/dtn)